PRASASTI KAWALI Situs Astana Gede atau Situs Kawali merupakan salah satu situs dari masa klasik. Di sini terdapat enam prasasti yang dipahatkan pada batu alam. Keenam prasasti ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda Kuno. Dilihat dari paleografi dan bahasanya, diperkirakan berasal dari abad ke-14 Masehi. Selain itu, dari nama-nama yang disebutkan di dalamnya dapat dipastikan berasal dari abad ke-14 Masehi. Menurut naskah Carita Parahyangan yang berasal dari akhir abad ke-16 Masehi, nama-nama itu pernah menjadi raja, yaitu Rahyang Niskala Wastu Kañcana dan Rahyang Dewa Niskala, seperti yang tersebut di dalam prasasti Batutulis Bogor. Sehingga dengan demikian, Rahyang Niskala Wastukencana berasal dari Kawali. Kawali terletak di Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Menurut cerita rakyat dan babad, di daerah ini terkenal adanya sebuah kerajaan bernama Galuh. Nama itu sendiri sekarang masih melekat pada nama sebuah desa bernama Bojong Galuh, yang juga disebut Karangkamuliaan. Tempat tersebut oleh penduduk dan juga oleh Babad Galuh dianggap sebagai pusat bekas kerajaan Galuh (meskipun belum menampilkan bukti otentik kesejarahan yang primer). Dilihat dari pandangan keagamaan, dalam hal ini agama Hindu, tempat itu sangat baik karena terletak di muara, tempat pertemuan dan aliran sungai Citanduy dan Cimuntur. Berpijak pada arti katanya yang umum, kawali berarti kuali (alat masak dari tanah). Tentang kedudukan Kawali sebagai pusat pemerintahan, ditegaskan dalam Pustaka Nusantara II/2, yang berisi: “Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.” Pengertian Galuh dan Sunda antara 1333-1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali, walaupun di Pakuan tentu ada seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintahan pusat sudah berakhir. Raja yang jelas berkedudukan di kawali adalah Ajiguna Linggawisesa menantu Prabu Linggadewata. Ia menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya yang kemudian menggantikan ayahandanya dan Suryadewata leluhur raja-raja Talaga. Adik Ajiguna Linggawisesa bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Prabu Ajiguna memerintah tahun 1333-1340 Masehi. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350 M) penguasa Majapahit dan ibunda Hayam Wuruk. Setelah wafat Prabu Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Penggantinya adalah Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Linggabuana dan Bunisora yang kedua-duanya menjadi penguasa di Kawali.
Prasasti Kawali I Prasasti dipahatkan pada batu alam, berbentuk persegi empat tidak beraturan dengan ukuran: panjang kanan 125 cm, panjang kiri 120 cm, lebar atas 46 cm, lebar bawah 57 cm, serta tebal 10 cm. Prasasti yang diletakkan dalam posisi tidur, bertuliskan pada sisi depan yang berjumlah 10 baris tulisan dan setiap barisnya diberi garis lurus, sedangkan tulisan selanjutnya ditulis pada keempat sisinya. Prasasti Kawali I berisikan: “Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu [yang] berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit [di] sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.”
Prasasti Kawali II Prasasti dipahatkan pada batu alam, berbentuk akolade (kwadrat) yang tidak simetris dengan ukuran tinggi: 125 cm dan lebar 80 cm. Prasasti yang diletakkan dalam posisi berdiri ditulis dalam tujuh baris tulisan, diakhiri dengan garis horisontal. Tulisannya tidak serapi Prasasti Kawali I. Prasasti Kawali II berisikan: “Janganlah dirintangi janganlah diganggu yang memotong akan hancur yang menginjak akan roboh.”
Prasasti Kawali III Prasasti dipahatkan pada batu alam dalam posisi berdiri, tingginya 120 cm. Prasasti yang berjumlah dua baris ini ditulis di bagian tengah prasasti. Prasasti Kawali III berisikan: “Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.”
Prasasti Kawali IV Prasasti dipahatkan pada batu alam dalam posisi berdiri, tingginya 120 cm. Seperti halnya Prasasti Kawali III, tulisannya yang berjumlah dua baris ditulis di bagian tengah prasasti. Prasasti Kawali IV berisikan: “Sang Hyang Lingga Bingba.”
Prasasti Kawali V Prasasti dipahatkan pada batu alam, dengan ukuran panjang sisi kanan 75 cm, panjang sisi kiri 55 cm, lebar bawah 60 cm, dan lebar atas 113 cm. Tulisan yang terdiri dari satu kata itu ditulis di sebelah kiri garis-garis lurus yang membentuk kotak-kotak. Kotak-kotak yang berjumlah 45 buah (9 x 5 kotak) tersebut seperti kalender (kόlenjer). Di bawah kόlenjer terdapat gambar telapak tangan dan sepasang telapak kaki. Prasasti Kawali V berisikan: “Demikianlah.” Kemungkinan, prasasti ini merupakan prasasti penutup, meskipun prasasti-prasasti lainnya belum dapat diurutkan secara pasti.
Prasasti Kawali VI Prasasti dipahatkan pada batu alam dengan ukuran: panjang 72 cm dan lebar 62 cm. Prasasti yang ditemukan dalam posisi tidur ditulis dalam 6 baris tulisan. Prasasti Kawali VI berisikan: “Ini peninggalan dari [yang] astiti [dari] rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi bisa sengsara.” Astiti berasal dari bahasa Sansekerta sthiti yang kemudian menjadi athisti, dan mengalami perubahan lagi menjadi astiti yang berarti tetap, teguh, koko, stabil, tidak bergerak, tidak berubah, kekal. |
Sampurasun.
Kunjungan perdana,namun langsung terpikat.Emut ka nyiar lumar pami ningal Astana Gede teh.Tingkatkan terus kreasi dan potensi daerah kita. Nice post,happy blogging